Usai
lebaran, umat islam di Indonesia senantiasa merayakan hari kemenangan dengan
tradisi yang dikenal dengan istilah "Halal bi Halal atau Silaturrahim."
Tradisi ini berlangsung dengan cara saling berkunjung ke rumah saudara,
tetangga hingga tokoh-tokoh agama. Tradisi tersebut tidak lain merupakan
representasi dari teks-teks agama yang menganjurkan penganutnya untuk saling
bersilaturrahim. Diantaranya adalah hadis Nabi Saw,
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ
وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمه
"Barangsiapa
yang senang rezekinya dilapangkan, dipanjangkan umurnya hendaklah ia menjalin
tali silaturrahim." (HR. Muslim, no. 2557)
Dalam riwayat lain,
Nabi Saw pernah berwasiat kepada sabahat Ayyub al-Anshari,
تَعْبُدُ
اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ،
وَتَصِلُ الرَّحِمَ
"Sembahlah
Allah Swt jangan kau sekutukan dia dengan apapun, dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, sambunglah silaturrahim". (HR. Bukhari)
Diksi
"Silaturrahim" sendiri merupakan gabungan dari kata "صلة" yang berarti menyambung dan "رحم" yang berarti hubungan persaudaraan.
Merujuk pada kamus, yang dikehendaki "saudara" adalah
orang-orang yang mempunyai hubungan nasab, entah bisa mewarisi atau tidak,
mahram atau tidak (al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Istilahan, hlm. 145).
Lantas
seperti apakah maksud "dipanjangkan umurnya" dalam hadis nabi
Saw di atas? Padahal secara tegas Al-Qur'an mengatakan bahwa ajal seseorang tidak
dapat ditunda dan dimajukan, bertambah dan berkurang. Sebagaimana firmannya,
وَلِكُلِّ
اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا
يَسْتَقْدِمُوْنَ ٣٤
"Setiap
umat mempunyai ajal (batas waktu). Jika ajalnya tiba, mereka tidak dapat
meminta penundaan sesaat pun dan tidak dapat (pula) meminta percepatan."
(Q.S al-A'raf: 34)
Menanggapi
hadis di atas, Imam Nawawi (w. 676 H) mengutip pendapat ulama’ mengatakan
bahwa,
وَأَجَابَ
الْعُلَمَاءُ بِأَجْوِبَةٍ الصَّحِيحُ مِنْهَا أَنَّ هَذِهِ الزِّيَادَةَ
بِالْبَرَكَةِ فِي عُمْرِهِ وَالتَّوْفِيقِ لِلطَّاعَاتِ وَعِمَارَةِ أَوْقَاتِهِ
بِمَا يَنْفَعَهُ فِي الْآخِرَةِ وَصِيَانَتِهَا عَنِ الضَّيَاعِ فِي غَيْرِ
ذَلِكَ وَالثَّانِي أَنَّهُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا يَظْهَرُ لِلْمَلَائِكَةِ وَفِي
اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَيَظْهَرُ لَهُمْ فِي اللَّوْحِ أَنَّ
عُمْرُهُ سِتُّونَ سَنَةً إِلَّا أَنْ يَصِلَ رَحِمَهُ فَإِنْ وَصَلَهَا زِيدَ
لَهُ أَرْبَعُونَ وَقَدْ عَلِمَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مَا سَيَقَعُ لَهُ
مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ مِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى يَمْحُو الله ما يشاء ويثبت
فيه النسبة إِلَى عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا سَبَقَ بِهِ قدره ولا زِيَادَةَ
بَلْ هِيَ مُسْتَحِيلَةٌ وَبِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا ظَهَرَ لِلْمَخْلُوقِينَ
تُتَصَوَّرُ الزِّيَادَةُ وَهُوَ مُرَادُ الْحَدِيثِ وَالثَّالِثُ أَنَّ
الْمُرَادَ بَقَاءُ ذِكْرِهِ الْجَمِيلَ بَعْدَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَمُتْ حَكَاهُ
الْقَاضِي وَهُوَ ضَعِيفٌ أَوْ بَاطِلٌ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
"Ulama' menjawab dengan beberapa jawaban.
Pertama, jawaban yang benar bahwa penambahan ini diartikan dengan keberkaham umur, diberi taufiq menjalankan ketaatan, hidupnya dipenuhi dengan amal-amal yang bermanfaat kelak di akhirat, terjaga dari tersia-siakan nya umur.
Kedua, hadis tersebut dinisbatkan terhadap pengetahuan yang nampak bagi malaikat dan di lauh mahfuz. Maka nampaklah bagi malaikat dalam lauh mahfuz bahwa umur seseorang itu 60 tahun kecuali ia menjalin silaturrahim. Jika ia menyambungnya, maka usianya ditambahkan 40 tahun. Akan tetapi, Allah Swt telah mengetahui sebenarnya apa (umur) yang akan terjadi pada diri seseorang tersebut (60 tahun). Inilah arti dari firmannya “Allah Swt menghapus apa yang ia kehendaki dan menetapkan apa yang ia kehendaki pula (Q.S ar-Ra’du [13]: 39). Ayat ini dinisbatkan terhadap pengetahuan Allah dan apa yang telah ditetapkannya. Jika dinisbatkan kepada pengetahuan yang Nampak bagi makhluk (malaikat) dapat ditemukan penambahan tersebut. Inilah yang dikehendaki hadis di atas.
Ketiga, yang dimaksud adalah tetapnya sebutan baik
seseorang sepeninggalnya, seolah-olah ia tidak pernah meninggal. Pendapat ini
disampaikan oleh al-Qadhi, dan ini lemah atau batil". (Syarah Shahih
Muslim, vol. 16, hlm. 114-115)
Dari
ketiga pendapat ulama’ terhadap hadis di atas, pendapat yang dapat kita pegang
adalah yang pertama. Adapun pemahaman pendapat kedua dapat kita pahami bahwa
pengurangan dan penambahan usia itu hanyalah terjadi pada pengetahuan malaikat
(makhluk), bukanlah pengetahuan Allah Swt (sesuai ilustrasi sebelumnya).
Hakikatnya, Allah sendiri telah mengetahui sebenarnya usia seseorang itu
berapa, apakah 60 atau 100 tahun.
Jawaban
ulama' di atas mengajarkan kita agar bijak dalam memahami teks-teks agama yang
seakan-akan saling kontradiksi melalui ta'wil yang sesuai dengan teks-teks
agama yang lain. Sehingga tidak mengakibatkan kesalahpahaman. Wallahu A'lam Bissawab.
__________________________________
M. Azfa Nashirul Hikam, Penulis adalah santri Ponpes. Lirboyo Kota Kediri dan alumni mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) IAIN KEDIRI. Memiliki minat kajian Ulumul Qur’an-Tafsir dan Fiqih-Ushul fiqih. Penulis bisa dihubungi melalui instagramnya: @nashirulhikam