Siniar.co - Dinamika perkembangan tafsir sangat pesat karena kebutuhan untuk menafsirkan al-Qur’an juga semakin meningkat. Distansi waktu yang relatif panjang dengan periode kenabian melahirkan kompleksitas persoalan yang membutuhkan lahirnya penafsiran yang lebih segar dan mampu memberikan legitimasi terhadap dinamika persoalan yang semakin beragam. Di satu sisi, fenomena ini merupakan suatu keniscayaan bahwa perkembangan zaman akan menuntun manusia untuk lebih berkembang dengan beragam sudut pandang sehingga penafsiran juga turut dinamis sehingga nilai-nilai al-Qur’an tetap hidup sebagaimana ia diyakini mampu terus update di berbagai wilayah dan zaman tertentu.
Namun, di sisi lain, dinamika penafsiran hadir
sebagai respons terhadap polemik yang terjadi pada periode atau kawasan
tertentu, baik polemik yang berkisar pada pergulatan keilmuan, haluan sosial
masyarakat maupun pergolakan politik yang membutuhkan legitimasi penafsiran.
Kecenderungan yang demikian menjadi orientasi tafsir yang mewarnai setiap
penafsiran, sehingga tinjauan terhadapnya dirasa perlu untuk ditilik lebih
mendalam. Maka dari itu, tulisan ini hadir untuk mencoba memetakan orientasi
tafsir yang hadir pada periode modern-kontemporer yang dapat ditelusuri dari
periode lahirnya tafsir dan memfokuskannya pada wilayah Timur Tengah sebagai
gerbong awal keilmuan ini lahir dan sebagai wilayah yang paling subur dengan
studi terhadap penafsiran al-Qur’an.
Kajian Tafsir di Timur
Tengah
Studi keilmuan di Timur Tengah (Middle East) memiliki kecenderungan menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam, terutama pada periode awal Islam. Kajian Islam di Timur Tengah bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden, sehingga kajian tafsir pada periode awal Islam sangat terbatas dan baru mulai berkembang pada generasi kedua, yakni tabi’in. Pada periode ini banyak muncul ilmu-ilmu al-Qur’an seperti qiraat (bacaan dan pelafalan al-Qur’an), serta bacaan-bacaan yang sah hingga penelusuran rangkaian sanad.
Maka dari itu, bentuk tafsir paling awal direpresentasikan dengan
penjelasan ringkas kata-kata atau frasa dalam al-Qur’an yang ambigu, penjelasan
ayat-ayat hukum, dan kisah al-Qur’an. Perkembangan dan kecenderungan ini
berlanjut hingga abad ke-3 Hijriah sehingga demikian menunjukkan bahwa disiplin
keilmuan tafsir sudah menjadi disiplin keilmuan yang mapan. Banyak tradisi pada
periode ini menggunakan pendekatan literal dan legal dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum, karena menganggap bahwa pendekatan minim terhadap kecenderungan
terhadap kesalahan penafsiran.
Pentingnya Otoritas
dalam Penafsiran Al-Qur’an
Memahami al-Qur’an harus berdasarkan ilmu tafsir yang diberi otoritas khusus oleh para ulama. Tidak semua orang bebas menafsirkan al-Qur’an kecuali para mufassir yang mempunyai kewenangan dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Qur’an salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum Muslimin, al-Qur’an bukan saja sebagai kitab suci melainkan juga petunjuk yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai manusia di muka bumi.
Ibarat katalog sebuah produk barang, al-Qur’an adalah petunjuk bagi pengelola alam ini sehingga berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya manajemen dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk al-Qur’an. Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai petunjuk.
Tafsir di Era Modern
Perkembangan tafsir antar masa memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan adanya pijakan dan perangkat yang disepakati dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga tidak mudah untuk bisa membedakan karya tafsir masa klasik dengan periode sesudahnya. Sejauh penelusuran terhadap tafsir abad modern, dapat digambarkan bahwa tafsir modern didominasi kajian tentang filologi al-Qur’an, tentang al-Qur’an dan sejarah alam, serta al-Qur’an dan masalah aktual keseharian umat Islam.
Kecenderungan ini tidak saja menjadi tuntutan modernitas dalam berbagai bidang
termasuk tafsir, namun juga semakin derasnya perkembangan ilmu pengetahuan pada
abad-abad terakhir milenium ke dua. Dapat dipastikan bahwa sebuah tafsir dapat
eksis pada masa modern, bila ia mengandung signifikansi yang kuat dengan
masalah keseharian umat Islam (tafsir praktis), sekaligus dukungan yang konkret
dan objektif terhadap perkembangan pengetahuan manusia (tafsir ‘ilmî).