Digital Detox: Apakah Sosial Media Benar-Benar Ramah bagi Perempuan?

 



Siniar.co - Media sosial kini telah menjelma menjadi sebuah candu yang hampir tidak bisa terpisahkan dari manusia. Kita akui, kemudahan teknologi dan perkembangan digital telah memberikan pengalaman berselancar dan berkomunikasi yang menakjubkan. Berbagai fitur-fitur keluaran terbaru berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Berbagai platform media sosial beradu fitur filter agar mampu menggaet massa baru.

Peran media sosial memang memungkinkan kita mudah berkomunikasi dengan orang lain, membangun jaringan pertemanan atau karir hingga mampu menjadi ruang ekspresi melalui Tulisan, foto dan video. Di satu sisi ia hadir dengan berbagai manfaat, di antaranya adalah menjadi ruang bagi para pencari kerja, ruang bagi personal branding untuk mencari validasi dan status sosial, serta memperkuat jaringan professional. Seperti koin mata uang, sisi lainnya juga turut hadir bersama manfaat tadi, yakni dampak negatif media sosial dalam mempengaruhi Kesehatan fisik dan mental pengguna.

Meski seperti boomerang, kegilaan pada media sosial membawa serta fenomena kegilaan lain. Kita sebut saja yang paling bikin kita geleng-geleng yakni bunuh diri anak-anak karena disuruh oleh kekasih fiktifnya. Depresi hingga brain rot juga menjelma menjadi alarm bahwa media sosial tidak tunggal, ia selalu hadir dengan konsekuensi fenomena buruk yang juga tak mampu kita bayangkan sebelumnya.

Di antara pengguna, perempuan menjadi salah satu gender yang disorot karena tidak dapat kita pungkiri, perempuan terdampak dan menjadi salahsatu golongan rentan yang sering dirugikan dalam berbagai kejahatan media sosial.

Perempuan sebagai Kelompok Rentan

Di antaranya, pertama, standar kecantikan yang tidak realistis. Perempuan menjadi sasaran empuk dan paling potensial bagi perusahaan industri kecantikan. Media sosial menggiring sebuah standar kecantikan yang tidak realistis sehingga menciptakan tekanan bagi perempuan untuk mencapai kesempurnaan. Hal itu mengakibatkan perempuan mencari validasi (pengakuan) agar sampai pada standar kecantikan dengan merubah fisik, menggunakan berbagai produk kecantikan hingga menggunakan filter dan editing foto yang mampu menutupi ketidakpercayaan dirinya..

Berbagai ekspresi di media sosial tersebut dalam kadar yang wajar dapat dimaklumi sebagai bentuk aktualisasi diri. Namun, gejala di atas juga dapat menyebabkan kecemasan, kehausan validasi, kerendahan diri, gangguan makan hingga ketidakpuasan tubuh (diri).

Kedua, perbandingan sosial dan FOMO (Fear of Missing Out). Gejala ini paling marak kita temui. Perempuan cenderung membandingkan kehidupan sosial mereka dengan citra “sempurna” yang ditampilkan orang lain di media sosial. Hal ini membuat perempuan menggunakan standar hidup, standar dalam hubungan hingga standar-standar yang lain dalam hidupnya. Sehingga perempuan merasa minder, cemas, depresi, overthinking hingga tak ayal mengakibatkan keretakan dalam relasi. Dari toxic, green flag dan berbagai persepsi standar tadi menjadi kacamata dalam melihat realita hidup yang sejatinya setiap orang pasti berbeda. Beberapa juga karena takut ketinggalan tren terbaru (FOMO) sehingga tanpa pikir panjang mengikuti tren-tren yang tidak bermanfaat.

Ketiga, Cyberbullying dan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Media sosial juga berdampak pada Kesehatan mental perempuan, seperti dalam kasus cyberbullying, body shaming, dan catcalling. Menurut laporan The National Digital Safety (2024), perempuan muda berusia 18 hingga 25 tahun adalah kelompok paling rentang mengalami perundungan online berupa komentar kasar, fitnah, hingga penghinaan terhadap fisik dan pilihan hidup mereka.

Bahkan dalam kasus kejahatan seperti KBGO, perempuan rentan menjadi korban. Menurut lapran dari Pusat Studi Keamanan Dunia Maya Indonesia (2023), lebih dari 60% korban revenge porn adalah perempuan. Banyak dari mereka merasa takut melaporkan kejadian, karena stigma sosial yang tidak memihak korban hingga ketidakpastian hukum yang ada. Akibatnya, banyak dari korban mengalami depresi hingga trauma dan efek psikologis yang cukup besar.

Barangkali dari kita, atau orang-orang di sekitar kita juga pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual melalui online ini. Mulai dari pelecehan verbal hingga yang bersifat kriminal. Penanganan hingga ruang aman sepatutnya menjadi upaya-upaya nyata bagi perlindungan terhadap korban. Dukungan psikologis hingga kepastian hukum perlu menjari perhatian utama dalam menangan kasus pelecehan hingga femisida, yang amat sangat merugikan perempuan. Di sisi lain hal itu merupakan sebuah kewajiban pihak terkait dalam memberikan ruang aman bagi siapapun, khsusnya perempuan.

Digital Detox sebagai Solusi

Terlepas dari kehadiran kita dalam memberikan support terbaik bagi penyintas dan korban. Upaya preventif dan antisipasi perlu dilakukan. Walaupun tidak secara langsung, beberapa dampak negative media sosial yang tidak ramah terhadap perempuan di atas perlu dikurang atensinya dengan mengurangin intensitas bermedia sosial kita.

Kecanduan dan ketergantungan terhadap media sosial perlu diminimalisir agar mampu memberikan filter bagi konsumsi konten-konten seksis hingga yang merugikan perempuan, di sisi lain perlu adanya digital detox sebagai anti tesis atau katalisator bagi gejala kecanduan di atas.

Digital detox adalah upaya mengurangi atau membatasi penggunaan media sosial dan perangkat digital lainnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi stress, meningkatkan keseimbangan mental, dan mengembalikan fokus pada kehidupan nyata.

 Digital detox ini perlu dilakukan untuk mengurangi kecanduan media sosial dan screen fatigue. Upaya mengurangi ini juga berbanding lurus dengan penurangan terhadap kemungkinan dampak negatif media sosial terhadap perempuan. Seperti halnya dampak terhadap mental sehingga memunculkan kecemasan, depresi, gangguan tidur karena scrolling media sosial hingga subuh, atau moody yang bergantung pada like, coment, atau engagement di media sosial. Maka dari itu, digital detox ini mampu meningkatkan self-awareness terhadap konten-konten yang tidak ramah perempuan.

Upaya-upaya digital detox yang dapat dilakukan perempuan di antaranya adalah dengan memberikan Batasan waktu dalam penggunaan perangkat digital, selektif dalam mengkonsumsi konten digital, bangun aktivitas dan kegiatan offline seperti hobi.

Dalam melakukan digital detox ini, kita perlu memastikan bahwa lingkungan di sekitar kita mendukung. Seperti halnya mencari circle pertemanan yang produktif dalam kegiatan offline dan memberikan boundaries terhadap lingkungan yang membuat kita susah lepas dari ketergantungan tersebut.

Media sosial seperti pisau bermata dua. Oleh karenanya, agar kita tidak tergores ujung mata pisau maka kita perlu memberikan jarak dan memastikan bahwa kita yang mengontrol media sosial, bukan kita yang berada dibawah control (persepsi) media sosial. Saya meyakini bahwa meskipun media sosial hadir dengan berbagai konten yang tidak ramah perempuan, tetapi perempuan adalah subjek aktif dan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya, sehingga perempuan mampu memilah dan memilih hal-hal yang berpotensi merugikan dirinya. Salah satunya adalah dengan mengurangi kecanduan dan ketergantungan terhadap persepsi dan citra yang diciptakan media sosial.

________

Rofiatul Windariana | Redaksi Siniar.co | SiniarTalk #1


Tonton Video Live Streamingnya: 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama