Isra' Mi'raj dalam Perspektif Fisika: Kecepatan Burak dan Batasan Kecepatan Cahaya

 

Ilustrasi: Canva/ahp

Siniar.co - Isra' Mi'raj adalah salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam, yang menggambarkan perjalanan suci Nabi Muhammad SAW pasca kehilangan dua orang terdekatnya, istri tercinta Siti Khadijah dan paman sekaligus pelindungnya, Abu Thalib. Isra' mi'raj adalah contoh konkret yang mengajarkan kita bahwa setiap ujian, Allah selalu memberikan jalan keluar yang lebih mulia, seperti Isra' Mi'raj yang menjadi sumber kekuatan iman dan inspirasi bagi umat manusia. Peristiwa ini memiliki makna historis mendalam yang mengingatkan kita bahwa shalat adalah hadiah istimewa dari Allah yang menghubungkan dimensi langit dan bumi, sekaligus bentuk penghambaan yang melampaui dimensi ruang dan waktu.

Burak merupakan salah satu elemen penting dalam peristiwa mulia ini, kendaraan luar biasa yang menjadi medium perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Dari sudut pandang spiritual, Burak merepresentasikan kuasa Ilahi yang tidak terbatas. Namun, jika ditelisik melalui lensa ilmu fisika, fenomena ini mengajukan tantangan konseptual yang menarik untuk ditelaah lebih jauh, mendorong pemikiran ilmiah untuk menjelajahi misteri yang melampaui batas konsep dan teori. Sejauh mata memandang, secepat itulah Burak melesat menembus batas waktu dan ruang, meninggalkan kecepatan cahaya yang hanya mampu menjadi bayang-bayang dibelakang.

Kecepatan Burak dan Relativitas Fisika

Kemampuan Burak membawa Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu melintasi dimensi langit hingga Sidratul Muntaha dalam waktu yang sangat singkat, mengundang perbandingan dengan kecepatan cahaya. Dalam fisika modern, kecepatan cahaya (sekitar 299.792 km/detik) dianggap sebagai batas maksimum kecepatan di alam semesta, sebagaimana dijelaskan dalam teori relativitas Einstein. Salah satu konsekuensi teori ini adalah bahwa objek yang memiliki massa tidak dapat bergerak lebih cepat dari cahaya, karena akan membutuhkan energi yang tidak terhingga.

Namun, perjalanan Burak tampaknya tidak terikat oleh hukum relativitas tersebut. Sebagai entitas yang digambarkan berasal dari dimensi ilahi, Burak melampaui batasan fisika yang dikenal manusia. Pergerakannya dapat diasosiasikan dengan konsep kecepatan superluminal (melebihi kecepatan cahaya) atau kemungkinan penggunaan "shortcuts" dalam ruang-waktu, seperti wormhole (lubang cacing) yang sering dibahas dalam teori fisika modern. Dalam konteks ini, Isra' Mi'raj dapat dipahami sebagai manifestasi dari "dimensi non-linear" yang melampaui batasan ruang dan waktu yang kita kenal.

Bagaimana Rasulullah bisa melakukannya?

Pada abad ke-19, Albert Einstein mengemukakan bahwa kecepatan tertinggi di alam semesta adalah kecepatan cahaya. Dalam fisika modern, kecepatan ini hanya dapat dicapai oleh sesuatu yang sangat ringan hingga hampir tidak memiliki massa. Hanya foton, sebagai kuantum penyusun cahaya, yang mampu bergerak dengan kecepatan tersebut. Bahkan, elektron yang massanya mendekati nol sekalipun, tidak dapat mencapai kecepatan setara itu.

Secara ilmiah, sulit dijelaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan tersebut dalam kondisi tubuh manusia normal, mengingat tubuh manusia memiliki massa yang terdiri dari berbagai unsur. Hal ini berbeda dengan malaikat Jibril dan Buraq yang tersusun dari cahaya. Lantas, apakah mungkin Rasulullah SAW berubah menjadi cahaya?

Transformasi tubuh Rasulullah SAW dari unsur materi ke unsur cahaya memungkinkan untuk terjadi. Sebelum peristiwa itu berlangsung, Malaikat Jibril dikisahkan membelah dada Nabi Muhammad SAW dan membersihkan hati beliau, yang menjadi pusat energi tubuh, dengan air zam-zam. Atas kehendak Allah SWT, Jibril "memanipulasi" sistem energi dalam tubuh Nabi SAW sehingga tubuh beliau diubah menjadi cahaya. Dalam kajian fisika, fenomena ini dapat dikaitkan dengan konsep annihilasi, yaitu proses di mana materi direkonstruksi menjadi gelombang. Hal ini terjadi karena setiap materi mengandung anti-materi, yang ketika direaksikan akan saling menghilangkan dan berubah menjadi cahaya atau sinar gamma.

Perspektif Relativitas Waktu

Teori relativitas waktu memberikan penjelasan bahwa pada kecepatan mendekati cahaya, waktu bagi objek yang bergerak akan melambat relatif terhadap pengamat di luar sistemnya. Dengan kata lain, perjalanan waktu yang cepat (time dilation) mungkin saja terjadi jika perjalanan Nabi melibatkan perpindahan dalam kecepatan yang ekstrem. Namun, sekali lagi, konsep ini hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena Isra' Mi'raj karena Burak tidak sekadar bergerak dalam kerangka hukum fisika biasa, melainkan ada campur tangan Tuhan YME. Selain itu, perjalanan melintasi dimensi langit dalam Isra' Mi'raj menunjukkan aspek transendental yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui teori relativitas atau mekanika kuantum. Ini menunjukkan adanya dimensi realitas yang melampaui alam material.

Integrasi antara Spiritualitas dan Sains

Isra' Mi'raj menjadi pengingat bahwa realitas tidak hanya terbatas pada dimensi material yang dapat diukur. Dalam dunia fisika, banyak fenomena yang masih bersifat hipotesis, seperti multiverse, lubang cacing, dan entanglement, yang menggambarkan bahwa alam semesta memiliki banyak misteri yang belum terungkap. Dalam konteks ini, perjalanan Burak menginspirasi kita untuk terus mengembangkan pemahaman tentang alam semesta, sembari mengakui keterbatasan akal manusia dalam menjangkau dimensi spiritual.

Isra' Mi'raj bukan hanya sebuah peristiwa spiritual, tetapi juga menjadi simbol bagi umat manusia untuk memahami bahwa keimanan dan ilmu pengetahuan dapat berjalan beriringan. Kecepatan Burak yang melampaui batas kecepatan cahaya menunjukkan bahwa ada realitas yang tidak tunduk pada hukum fisika, mengingatkan kita pada kebesaran Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Hal ini sekaligus menjadi motivasi bagi ilmuwan untuk terus menggali misteri alam semesta, dengan tetap menyadari bahwa ada dimensi yang hanya dapat dipahami melalui cahaya iman.

Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang sulit dijelaskan secara menyeluruh dan detail. Namun, pendekatan melalui teori relativitas dan konsep dimensi telah memberikan gambaran yang cukup memadai. Meskipun demikian, yang paling penting bukanlah bagaimana penjelasan tersebut selesai secara sempurna, melainkan pesan ilmiah yang terkandung di dalamnya. Manusia hanya bisa menduga, selebihnya kuasa dari Allah SWT.

 

Muhammad Hasbullah, Penulis asal Guluk-Guluk Sumenep ini, merupakan Alumni Pendidikan Fisika Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan, tahun Angkatan 2024.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama