Pergumulaan penafsiran al-Qur’an selalu dinamis, karena sebagaimana kitab suci akan selalu dihadapkan dengan realitas yang semakin kompleks. Begitu pula dengan dinamika penafsiran al-Qur’an di Indonesia yang memiliki karakteristik keilmuwan yang beragam, sehingga lahir berbagai tafsir dengan kekhasan dan corak yang mengaitkannya dengan kultur masyarakat Indonesia, salah satunya adalah tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Karim Malik Amrullah (HAMKA). Tafsir Al-Azhar hadir sebagai salah satu tafsir yang memiliki sisi lokalitas dan membuka cakrawala penafsiran yang khas nusantara.
Kehadiran tafsir ini sebagai upaya merespon problematika sosial yang terjadi merupakan latar belakang Hamka menyuguhkannya dengan corak Adaby iijtima’i sehingga penafsiran dapat dipahami lebih mudah dengan menjadikannya dekat dengan lingkungan sosial masyarakat. Salah satu kajian yang menarik adalah tentang perniakah beda agama yang masih tabu di masyarakat Indonesia. Tulisan ini hendak menabarkan bahaimana tahapan makna atau pemahaman yang dhasilkan baik dalam konteks masa lalu dan implikasi pemahaman terhadap konteks saat ini.
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran." (Qs. Al-Baqarah (02): 221)
Dalam menjelaskan ayat ini, Hamka menguraikan tentang asbabun nuzul ayat ini yang berkaitan dengan seorang sahabat Nabi yang bernama Martsad al-Ghaznawi yang pernah menjalin cinta dengan seorang gadis yang belum masuk Islam bernama Inaq. Setelah dibebaskan dari tawanan, Martsad bertemu dengan Inaq ketika kembali ke Mekkah, saat bertemu sosok Inaq yang merayunya untuk kembali menjalin hubungan, namun dengan tegas Martsad menolak karena ia mengetahui bahwa Islam melarang hal itu, namun ia berjanji untuk menanyakan persoalan itu kepada Rasululla Saw. sehingga menurut riwayat al-Wahidi dari Ibnu Abbas persoalan tersebut menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Dengan narasi melayu yang indah, Hamka memaparkannya demikian:
Martsad mengatakan bahwa hidupnya telah berubah. Seorang kalau telah masuk Islam tidak boleh lagi melakukan hubungan di luar nikah. Tetapi kalau Inaq mau masuk Islam, mudahlah soalnya,..., Tetapi sungguhpun begitu Martsad berjanji akan menyampaikannya kepada Rasulullah saw apa bolehkah dia mengawini Inaq yang masih musyrik. Inaq memang cantik.[1]
Kemudian, Hamka menjelaskan dalam riwayat lain, bahwa ada seorang sahabat Nabi yang gagah berani dalam perang bernama Abdullah bin Rawahah. Pada suatu waktu, karena sangat marah, ia menampar budak perempuannya yang berkulit hitam, namun taat beragama. Setelah melakukan itu, ia menyesal dan meceritakannya kepada Rasulullah saw bahwa ia menyesal dantergerak hatinya untuk memerdekakan serta menikahi budaknya. Rasulullah memujinya, namun setelah menikahinya ia mendapatkan ocehan dan desas desus bahwa sosok Abdullah binRawahah tidak selayaknya menikahi budaknya yang hitam. Sehingga turunlah ayat 221 tersebut yang menegaskan bahwa seorang budak mukmin lebih baik dibandingkan wanita musryik meskipun ia menarik[2]
Menurut Hamka ayat ini menegaskan bahwa terkait pernikahan laki-laki dan perempuang harus mempertimbangkan faktor kafaah atau kufu’. Pokok kufu’ yang penting adalah persamaan pendirian, kepercayaan dan agama yang dianut. Baginya, ayat ini berarti perintah,
Ayat-ayat ini berarti perintah. Tidak boleh dilengahkan. Sebab rumahtangga wajib dibentuk dengan dasar yang kokoh, (yakni) dasar iman dan tauhid, bahagia di dunia dan syurga di akhirat.....[3](hlm. 521)
Ia melanjutkan,
Dengan ayat ini dijelaskan bahwa orang Islam tidak kufu’ dengan segala orang yang mempersekutukan Allah. Walaupun dalam surah al-Maidah ayat 5 terdapat keringanan sedikit[4] (hlm. 522)
Adapun QS. Al-Maidah (05): 5 berbunyi sebagai berikut:
"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi"
Peraturan ini merupakan keringanan untuk perempuan-perempuan ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Hal itu karena mereka pada awalnya memiliki kepercayaan yang sama yakni mengakui Keesaan Tuhan. Namun, adanya pengaruh dari pendeta dan memunculkan pengakuan bahwasanya Allah beranak Isa Almasih. Menurut Hamka, terdapat pertemuan nasib jodoh perempuan Yahudi dan Nasrani dengan laki-laki Islam yang kuat ke-Islam-annya. Namun, tidak berlaku bagi kalau perempuan Islam yang menikahinya laki-laki ahlu kitab, karena menurut Hamka, bagaimanapun perempuan tidak akan melebih kekuasaan suaminya dalam rumahtangga. Namun, realitanya, Hamka menilai bahwa pernikahan beda agama tidak membawa keuntungan kepada Islam dan beralih maksud menjadi sebuah pergaulan bebas.[5]
Ia kemudian menceritakan sosok yang ia temui tahun 1957 di Surabaya yang kebetulan berasal dari Maninjau, kampung halamannya. Ia menceritakan bahwa dirinya pernah menikahi seorang perempuan Katholik, yang kedua orangtanya beserta saudara-saudaranya jugaberagama Katholik. Namun berselang 6 bulan, isterinya masuk Islam dan pelan-pelan kedua mertuanya juga masuk Islam. Setelah ditelisik, ia menceritakan bahwa cara yang ia lakukan adalah memperlakukan baik isteri dan kedua mertuanya, mengantarkannya ke gereja, hingga pada akhirnya mereka penasaran terhadap Islam. Sehingga tidak berselang lama, mereka juga masuk Islam. Demikian pernikahan beda agama yang menurut Hamka sesuai dengan kehendak Islam.[6]
Perkawinan campuran begini tentu terpuji dalam Islam. Di samping pemuda asal Maninjau ini, berpuluh bahkan beratus pemudi Islam lepas dari Islam, menjadi murtad, sebagai korban dari pergaulan bebas. (hlm. 528)
Dalam menganalisis penafsiran Hamka dalam QS. Al-Baqarah (02): 221, maka sebagaimana dijelaskan Hamka dalam bait pertama penafsirannya bahwa QS. Al-Baqarah menekankan tentang keutamaan menikahi perempuan mukmin atau budak mukmin dibandingkan dengan perempuan musyrik walaupun mereka menarik. Dalam hal ini narasi yang digunakan adalah musyrik bukan kafr, serta konteks yang menjadi latar belakang turunnya ayat adalah katika sosok Inaq merayunya untuk berhubungan diluar nikah sehingga sejalan dengan maksud bahwa konteks perempuan seperti itu membawa ke neraka, walaupun Martsad menyukainya. Keringanan kemudian dari surat al-Maidah, bahwa perempuan ahlu Kitab boleh dinikahi dalam konteks historis bahwa diharapkan membawa keuntungan kepada Islam dalam arti bahwa mereka akan masuk Islam. Dalam pemahaman peneliti, hal itu berkaitan dengan kuantitas muslim yang masih minim pada periode awal Islam, namun terkait ini tidak disinggung dalam penafsiran Hamka.
Pada tahapan fungsi pemahaman fungsionalnya ini pernikahan beda agama dalam konteks yang diperbolehkan Islam adalah perempuan ahlu Kitab, namun realita bahwa perempuan ahlu kitab yang dipahami dalam konteks hstoris telah bergeser denganpengaruh-pengaruh ajaran yang sangat kontras sekali dengan ahlu kitab dalam audien historis yang menurut Hamka ada ‘peremuan nasib’. Hamka juga menggarisbawahi bahwa meskipun terjadi pernikahan beda agama, posisi laki-laki tetap lebih menguasai dalam rumah tangga, padahal konteks kontemporer hak perempuan dalam rumahtangga lebih bebas dan fleksibel sehingga kungkungan laki-laki dengan budaya dominansi laki-laki tentu berbeda dengan situasi dan kondisi saat ini yang melibatkan negara dalam menjaga hak-hak perseorangan dalam rumahtangga.
Adapun fungsi implikatifnya ini mengejawantahkan konsekuensi dari meaning function, yakni kondisi dan situasi sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam tentu sangat jauh berbeda dengan konteks pengarang dan audien historis, termasuk perempuan ahlu kitab serta QS. Al-Maidah menekankan bahwa selama masih ada perempuan yang beriman dibandingkan yang tidak beriman, lebih diutamakan yang beriman. Apabila dibandingkan dengan perempuan yang tidak beriman, maka diutamakan yang lebih bisa menjaga kehormatannya. Implikasi dari ayat tersebut bahwa pernikahan beda agama itu menjadi alternatif terakhir sebagaimana perbandingan antara perempuan yang beriman dan tidak beriman. Apabila alasan hanya terkait rupa, maka QS. Al-Baqarah :221 telah jelas membantah persoalan tersebut