Femisida dan Benang Kusut Kekerasan Terhadap Perempuan

 

Foto oleh Life Matters: https://www.pexels.com/

Kekerasan ini begitu kompleks, mengakar dalam struktur sosial dan budaya yang ada. Salah satu bentuk kekerasan paling ekstrem yang semakin sering dibicarakan adalah femisida, yaitu pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan semata-mata karena mereka adalah perempuan. Dalam esai ini, saya akan membahas tentang bagaimana femisida menjadi cerminan dari benang kusut kasus kekerasan terhadap perempuan, yang sulit diurai karena berbagai faktor sosial dan struktural.

Apa Itu Femisida?

Femisida merujuk pada pembunuhan dengan sengaja terhadap perempuan atau anak perempuan karena mereka adalah perempuan. Tidak seperti kasus pembunuhan pada umumnya, femisida seringkali melibatkan kekerasan fisik, seksual, maupun psikologis yang terus-menerus dialami oleh perempuan sebelum akhirnya berujung pada kematian. Femisida adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa kita pandang remeh, karena mencerminkan struktur patriarki yang menempatkan perempuan sebagai sosok yang harus tunduk pada kontrol laki-laki.

Dalam berbagai kasus femisida, saya melihat bahwa banyak korban berasal dari hubungan yang tidak setara, di mana laki-laki merasa berhak atas tubuh dan kehidupan perempuan. Dalam kasus-kasus ini, perempuan sering kali kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

Sebut saja yang terjadi pada sepanjang bulan September ini, yakni pembunuhan siswi SMP di Palembang yang diperkosa dan dibunuh oleh 4 anak dibawah umur. Lalu pembunuhan gadis penjual gorengan di Padang Pariaman, hingga pembunuhan istri oleh suaminya di Bandung. Adajuga kasus pemerkosaan dan pembunuhan siswi SMK di Lampung oleh pamannya sendiri pada 28 Mei 2024 lalu.

Bahkan menurut data dari Komnas Perempuan, kasus indikasi femisida  tahun 2020 mencapai 95 kasus, 2021 terpantau 237 kasus, tahun 2022 mencapai 307 kasus dan tahun 2023 mencapai 159 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena femisida kemungkinan akan terus bertambah dan perempuan masih rentan menjad korban.

 

Benang Kusut Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan di masyarakat kita bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari benang kusut masalah sosial, budaya, dan struktural yang mengakar dalam. Ketidaksetaraan gender adalah akar dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Norma patriarki yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang lebih rendah dalam relasi kuasa terus menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya kekerasan.

Dari sekian kasus yang menimpa korban, femisida dilakukan oleh orang terdekat seperti suami, pacar, mantan pacar atau pasangan. Hal ini juga dikenal dengan femisida intim dan menduduki hierarki tertinggi pelaku kasus yang terjadi.

Faktor sistemik ini tidak hanya tampak pada hubungan personal, tetapi juga tercermin dalam cara hukum dan kebijakan publik menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Banyak korban kekerasan yang enggan melapor karena takut disalahkan, atau karena proses hukum yang panjang dan menyulitkan. Ketika seorang korban akhirnya berani berbicara, ia sering kali menghadapi sistem hukum yang tidak berpihak pada korban, di mana perempuan masih dipandang sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpa dirinya.

Feminisasi Kekerasan dan Stigma Sosial

Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan sering dianggap sebagai sesuatu yang ‘normal’ atau ‘wajar’. Ini merupakan salah satu bentuk feminisasi kekerasan, di mana perempuan dianggap sebagai sosok yang pantas menerima kekerasan dalam konteks tertentu, misalnya sebagai istri yang tidak memenuhi ekspektasi suami atau sebagai perempuan yang melanggar norma sosial. Masyarakat kita cenderung menutup mata terhadap kekerasan dalam rumah tangga, menganggapnya sebagai masalah privat yang tidak pantas dibahas di ranah publik. 

Saya merasa bahwa salah satu hambatan terbesar dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah stigma sosial ini. Banyak korban kekerasan yang takut melaporkan kasus mereka karena takut disalahkan oleh masyarakat. Ketika seorang perempuan berani berbicara, ia sering dihadapkan pada komentar yang meremehkan atau bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Stigma ini membuat korban kekerasan semakin sulit mendapatkan keadilan.

Media dan Peranannya dalam Kasus Femisida

Sebagai konsumen media, saya seringkali kecewa dengan cara media melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama femisida. Kasus-kasus ini sering kali diberitakan secara sensasional, dengan fokus pada motif pribadi pelaku atau kehidupan pribadi korban. Alih-alih membahas akar masalah ketidaksetaraan gender dan struktur sosial yang mendukung kekerasan, media lebih sering menyoroti aspek-aspek yang memperburuk stereotip tentang perempuan.

Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Saya percaya bahwa dengan narasi yang lebih bertanggung jawab, media bisa membantu masyarakat memahami bahwa femisida adalah masalah serius yang harus ditangani secara struktural, bukan hanya masalah individu.

Mengurai Benang Kusut Kekerasan Terhadap Perempuan

Untuk memutus benang kusut kekerasan terhadap perempuan, saya melihat ada beberapa langkah penting yang harus diambil. Pertama, penting bagi kita untuk mengubah cara berpikir tentang relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan tentang kesetaraan gender harus menjadi bagian penting dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat harus diajak untuk melihat perempuan sebagai individu yang setara dan memiliki hak atas tubuh dan hidupnya sendiri.

Kedua, sistem hukum perlu lebih berpihak pada korban. Reformasi hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan sangat diperlukan. Selain itu, penegak hukum juga perlu dilatih untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan lebih sensitif. Sering kali, korban merasa dihakimi atau tidak mendapatkan perlindungan yang cukup saat melaporkan kasus mereka.

Terakhir, dukungan bagi korban harus lebih diperkuat. Selain akses yang lebih mudah ke layanan perlindungan, korban juga membutuhkan dukungan psikologis dan sosial yang membantu mereka pulih dari trauma kekerasan. Dengan cara ini, korban dapat merasa didukung dalam proses penyembuhan dan pencarian keadilan.

Kesimpulan

Femisida adalah puncak dari benang kusut kekerasan gender yang sudah lama ada dalam masyarakat kita. Femisida bukan hanya masalah kriminal, tetapi juga masalah sosial yang mencerminkan ketidaksetaraan gender yang struktural. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk mengurai benang kusut ini—mulai dari reformasi hukum hingga perubahan cara pandang masyarakat terhadap perempuan. Saya percaya, dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan dunia yang lebih aman dan setara bagi perempuan.

 


Rofiatul Windariana

Seorang yang penuh antusias. Penikmat kopi, musik dan lingkaran diskusi. Suka seni tapi bukan seniman.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama