Ilustrasi by siniar.co |
Siniar.co - Nalar Arab merupakan kumpulan aturan atau prinsip yang digunakan sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan atau sering disebut aturan epistemologis. Nalar Arab terbentuk sebagai sebuah struktur pemahaman yang terkonstruk oleh suatu peradaban tertentu, dalam hal ini merupakan peradaban Arab. Abed al-Jabiri menawarkan langkah-langkah sistematis sebagai upaya mencapai kemajuan bangsa Arab dalam meningkatkan peradaban. Al-Jabiri menilai bahwa struktur nalar Arab yang telah dibakukan di sekitar abad ke-II H memiliki andil besar dalam melihat orientasi suatu pemikiran terbangun. Dalam tataran epistemologi, Al-Jabiri mengklasifikasi babakan geneologi nalar Arab dan perkembangan pemikiran Islam menjadi 3 jenis tradisi, yakni Bayani, Irfani dan Burhani
Epistemologi Bayani: Nalar Tekstual
Epistemologi bayani, nizham ma’rifi bayani atau aql bayani mencakup disiplin-disiplin ilmu yang menjadikan ilmu bahasa Arab sebagai tema sentralnya, seperti balaghah (ilmu keindahan bahasa), nahwu (gramatika bahasa Arab), fikih dan usul fikih dan kalam. Masing-masing disiplin ilmu ini terbentuk dari satu kesatuan sistim kesatuan yang mengikat basis-basis penalarannya, dan itu oleh al-Jabiri dilihat pada faktor bahasa. Dalam hal ini muncul persoalan dalam benak kita, apa yang ditimbulkan oleh faktor bahasa tersebut? Bagi Al-Jabiri, bahasa bukan cuma berfungsi sebagai alat komunikasi atau sarana berpikir, tetapi lebih dari itu adalah satu wadah yang membatasi ruang lingkup pemikiran “sebuah sistem bahasa", maksudnya bukan hanya mencakup kosa katanya tapi juga sistem gramatika dan semantiknya.
Menurut Al-Jabiri, terdapat pengaruh yang cukup signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode berpikir mereka. Meski demikian, epistemologi bayani menjadi metode berpikir yang berpedoman pada teks atau validitas kebenaran berdasarkan dalil teks. Sehingga metode berpikir dan proses perolehan pengetahuan mengacu oada dalil tersurat dan pembenaran tekstual.
Epistemolog Irfani: Nalar Sufistik
Dalam menerjemahkan kata ‘irfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tidak sama, yang pertama adalah “gnose/gnosisi” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakekat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. dan kelihatannya pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, dan sebutan irfani itu sendiri dipakai untuk menunjukkan satu proses bernalar yang mendasarkan diri pada ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan, dan yang menjadikan kandungan tradisi-tradisi pra-Islam tersebut sebagai “hakekat”, sebagai kandungan “esoteris” (bathin), dan dari yang diungkapkan oleh teks-teks agama secara lahiri (zhahir). Yaitu tersingkapnya realitas oleh Tuhan.
Epistemologi Burhani: Nalar Filosofis.
Tawaran nalar burhani yang dikemukakan oleh al-Jabiri adalah untuk melengkapi kekurangan epistemologi yang ada dalam kedua nalar sebelumnya, yaitu bayani dan irfani. Dalam pengamatan al-Jabiri burhani ini adalah merupakan jalan keluar dari pandangan tidak rasioanl tersebut, dan itu berarti, dengan mengamati sejauhmana kelangan umat Islam mengapresiasi tradisi filsafat Aristoteles. Tapi perkembangan nalar burhani diwilayah Timur dunia Islam tidak menarik perhatian al-Jabiri, terutama sejak priode al-Farabi dan Ibnu Sina yang orientasinya lebih didominasi persoalan-persoalan ilmu kalam (dalam arti dibatasi oleh ruang lingkup pemikiran bayani), sehingga pemecahan yang ditawarkannya berasal dari tradisi irfani yang membenarkan penyatuan agama dan filsafat dan pengakuan terhadap ajaran emanasi (al-faid). Karena itu, epistemologi burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio, akal yang dilakukan lewat dali-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfanii menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebalumnya yang telah diyakini kebenarannya. Jadi, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat pancaindera, yang dikenal istilah tasawwur dan tasdiq.
Konklusi
Nalar bayani merupakan nalar yang berkembang pertama kali dan melekat dalam kultur masyarakat Arab bahkan sebelum berakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Nalar bayani memprioritaskan teks sebagai sumber otoritatif sehingga aktivitas inteletual berada dalam ruang gerak ijtihad yang terikat erat dengan nass. Adapun nalar irfani, muncul dan berkembang setelah mengalami gesekan dengan tradisi persia sehingga pendekatan gnosis dan intuitif masuk dalam diskursus pemikiran Islam sehingga kecenderungan tersebut melahirkan tradisi irfani. Nalar kedua ini meniscayakan adanya penyatuan spiritual, yakni antara jiwa manusia dengan Tuhan sehingga mampu mencapai maqam tertinggi dan pengetahuan yang hakiki dan bersifat spiritual-sufistik. Sedangkan, berbeda dari dua nalar sebelumnya, nalar burhani lahir dari adanya akulturasi dengan pemikiran Yunani yang mengidealkan pengetahuan melalui indera dan daya rasio. Nalar ini memusatkan kemampuan intelektual dan eksperimen manusia sebagai landasan utama untuk mencapai pengetahuan yang sistematis, valid dan postulatif dalam memahami realitas.